Bukan sepenuhnya salahmu ketika kau pamit hendak pergi ke luar negeri
sebagai TKI seperti saudara-saudara dan tetangga kita. Aku menyadari
banyak kekurangan padaku. Susu anak kita aja sering tak terbeli….apalagi
sekarang Angga buah hati kita sudah punya adik lagi. Dan Pekerjaan
pasti belum juga aku dapat. Setelah tanah warisan yang tinggal sepetak
kita jual buat biaya pernikahan kita. Tak ada lagi mata pencaharianku
sebagai petani. Sebagai tukang ojekpun aku sudah kalah saing.
Penghasilanku tak tentu. Sedang Angga sebentar lagi sudah kelas 3 , dan
adiknya juga mulai butuh banyak biaya.
Akhirnya dengan berat hati aku lepas kamu istriku. Dengan harapan 2
tahun kamu pulang keadaan ekonomi kita semakin membaik dan kau tak perlu
lagi melanjutkan kontrakmu untuk menjadi buruh migrant di Taiwan. Aku
ingin kita segera berkumpul lagi sebagai keluarga yang utuh. Kamu
mengasuh anak-anak dan aku mencari nafkah semampuku dengan modal yang
sudah kau dapat dari Taiwan.
Dengan dibantu ibuku aku sanggup mengasuh dan membesarkan kedua anak
kita, sambil aku tetap menjadi tukang ojek. Syukur Alhamdulillah
anak-anak tumbuh dengan baik. Dan si ajik anak kita terkecil sudah mulai
duduk di bangku TK. Uang yang kau kirim setiap bulan cukup untuk
kebutuhan hidup dan aku tabung sedikit demi sedikit untuk membeli
kendaraan bermotor yang lebih bagus untuk modal sebagai tukang ojek. Dua
tahun akhirnya kau pulang juga….Alhamdulillah. Namun dua bulan di rumah
kamu pamit kembali untuk melanjutkan menjadi buruh migrant di Taiwan.
Dengan alasan kau ingin memperbaiki rumah kita yang memang sangat
sederhana. Maka kulepas engkau kembali untuk pergi selama 2 tahun sesuai
kontrak kerjamu.
Namun kepergianmu saat ini membuat ada sesuatu yang lain di hatiku. Ada
yang berat , seperti akan ada sesuatu yang hilang. Aku merasa kamu telah
berubah, bukan lagi Narti yang aku kenal dulu. Kamu sudah seperti orang
kota yang gaul. Kamu lebih perlente dan suka dandan…hingga aku merasa
minder bila berdampingan denganmu.
Bulan-bulan awal kau masih mengirim uang seperti biasanya, namun
setelahnya dengan berbagai alasan pekerjaanmu kau jarang lagi mengirim
uang, dan jarang pula telpon aku dan anak-anak. Kau sibuk …katamu
majikan barumu lebih galak dan ketat sehingga kau tak bisa lagi bebas
menghubungi anak-anak dan aku, suamimu.
Bahkan sekarang sudah hampir setahun kau tak telpon dan juga tidak
mengirim uang. Pikirku uang kau tabung sendiri disana, jadi saat kau
pulang sudah terkumpul untuk memperbaiki rumah kita.
Namun nyatanya dua tahun sudah saatnya kau pulang . Kau bisa pulang
karena kontrak kerjamu diperpanjang otomatis, kau hanya mengirim uang
sekedarnya saja sebagai pengganti tidak datanganmu. Namun bagaimanapun
aku tetap menyanyangimu, mengharap kepulanganmu. Apalagi anak-anak
semakin besar semakin membutuhkan banyak buat biaya pendidikannya. Aku
harus bekerja lebih untuk bisa memenuhi kebutuhan anak-anak. Tak kenal
waktu siang malam aku harus mengojek. Untunglah dekat rumah kita ada
Makam Sunan yang banyak pengunjungnya.
Tahun ke empat engkau pulang ke Indonesia namun kau tak pulang ke rumah,
karena ternyata kau menderita sakit kanker payudara, hingga kau
langsung menuju Rumah Sakit di tempat kakakmu. Saat aku ikut menjemput
dan menggandengmu…. kau kibaskan tanganku. Kau sepertinya lupa kalau aku
adalah suamimu. Begitu sembuh keluar dari Rumah Sakit kau langsung
balik lagi ke Taiwan, tanpa mau menenggok rumah kita dan anak-anak.
Engkau sudah benar-benar beda dengan Narti yang aku kenal. Sepertinya
aku sudah tak mengenalimu lagi. Sepertinya kita bukan suami istri lagi.
Padahal aku tak pernah menjatuhkan talak padamu….. aku masih seperti
dulu sangat mencintaimu. Permintaanku agar kau tak kembali ke Taiwan
tidak kau gubris. Kau acuhkan aku dan juga anak-anak kita.
Sudahlah…..semua harus aku terima dengan lapang dada. Aku harus sanggup
mengasuh, membesarkan dan mencari nafkah sendiri. Namun karena kecapaian
dan banyak pikiran penyakit Paru-paru menghinggapiku. Hingga aku harus
bolak – balik opname di Rumah Sakit, kasihan anak-anak yang diasuh
neneknya. Si Angga anak pertama kita sudah besar, sudah sekolah SMK dan
adiknya sudah sekolah di SMP. Aku harus tetap bertahan ..aku harus kuat.
Aku yakin suatu saat nanti kamu sadar dan mau pulang.
Namun berita jelek aku terima dari tetangga yang juga bekerja di Taiwan,
dia mengabarkan kalau kamu sudah menikah lagi di sana, bersama sesama
pekerja dari Indonesia. Betapa hancur hatiku dan harapanku. Tapi aku
tetap yakin suatu saat kau akan sadar kau akan pulang karena
bagaimanapun pernikahanmu lagi disana tidak sah…karena kau masih terikat
pernikahan denganku.
Penyakit Paru-paru terus saja menggerogotiku, aku sudah tak mampu
berbuat apa-apa lagi. Untunglah Angga sudah lulus dan diterima bekerja
di sebuah perusahaan Kelapa Sawit di luar pulau. Anggalah sekarang yang
menjadi penopang ekonomi keluarga dan menanggung biaya pengobatanku.
Hari-hariku terasa sangat gelap….aku hanya bisa tiduran di kamar yang
sempit dan pengap. Namun secerah harapan tentang kedatanganmu masih aku
harapkan. Aku hanya bisa berdoa agar Tuhan membukakan hatimu,
menyadarkanmu tentang statusmu yang masih istriku. Sebelum ajalku tiba
aku ingin melihatmu kembali. Tuhan…. Ampuni aku ..karena dulu kau pergi
karena ijinku. Karena kemiskinan kita, karena kita tak tahan akan
iming-iming para perekrut tenaga kerja itu, yang datang dari rumah ke
rumah. Andai pemerintah lebih peduli pada kita dan mampu menyediakan
lapangan pekerjaan yang layak buat kita , tak perlu lagi kau pergi….tak
perlu lagi engkau hilang dari hidupku.
Aku sudah tak mampu lagi berbuat apa-apa hanya kepasrahan yang aku
lakukan bila hari ini Tuhan segera mencabut nyawaku tanpa kehadiranmu di
sisiku. Aku sangat mencintaimu Istriku sampai akhir hayatku.
No comments:
Post a Comment