Wednesday, January 27, 2016
Menunggu Lembaga Sensor Mengaburkan Celana Dalam Superman
NETFLIX, situs video steaming, disensor, lalu diblokir, karena dianggap tidak mengikuti aturan yang digariskan Kementerian Komunikasi dan Informatika terkait sensor, dan menyeruaklah keriuhan.
Ada yang mengingatkan pada apa yang mereka sebut sebagai "bahaya laten Orde Baru". Sensor-menyensor ala Harmoko sudah kembali. Benarkah demikian?
Bicara penyensoran, Indonesia memang termasuk satu di antara jagonya. Pada 19 Maret 1983, Presiden RI ketika itu, Soeharto, mengangkat Harmoko sebagai Menteri Penerangan, menggantikan Ali Moertopo.
Wartawan menggantikan jenderal, dan harapan pun sempat mengemuka. Kebebasan berpendapat yang dikekang sedemikian rupa saat Ali Moertopo berkuasa, diharapkan mencair.
Nyatanya tidak. Harapan meleset jauh, sebab di bawah kendali Harmoko, Departemen Penerangan justru kian getol melakukan penyensoran-penyensoran. Ia bukan cuma manut sepenuhnya pada Soeharto. Lebih jauh, Harmoko bahkan melakukan apa yang sebelumnya tidak dilakukan Ali Moertopo.
Khusus terhadap pers, ia mengatur mana berita yang boleh tayang dan mana yang terlarang, dan menjadikan tentara sebagai pengawas. Jika ada berita-berita yang dinilai "gawat", dan berpotensi memunculkan multi interpretasi terhadap kebijakan-kebijakan pemerintah, redaksi mesti lebih dahulu melaporkan hasil liputannya ke kodam, atau setidaknya, kodim setempat.
Bersikeras membangkang? Aih, jangan coba-coba. Harmoko sama sekali tidak segan membredel, menghentikan penerbitan, membalikkan periuk banyak orang, yang sebagian besar merupakan kawan-kawannya sendiri.
Penyensoran-penyensoran ini tentu saja menjengkelkan. Harmoko telah berdosa besar pada insan dan pers Indonesia dan itu sangat sulit dilupakan, apalagi dihapus, sekalipun yang bersangkutan telah melakukan taubat nasuha.
Harmoko menyepi dari riuh-rendah panggung politik nasional seiring runtuhnya kejayaan Orde Baru. Ia kembali ke balik mejanya di ruang redaksi Pos Kota, surat kabar miliknya. Kembali menulis. Dan setelah sempat dihilangkan di masa Presiden Abdurrahman Wahid, rezim selanjutnya, pimpinan Susilo Bambang Yudhoyono, menghidupkan lagi departemen yang selama 14 tahun dipimpin Harmoko. Bedanya, nama Departemen Penerangan ditransformasikan menjadi Kementerian Komunikasi dan Informatika.
Syamsul Mu'arif, Sofyan A. Djalil, Mohammad Nuh, dan Tifatul Sembiring, bergantian menjabat. Di antara mereka, paling spektakuler tentulah Tifatul Sembiring. Ia berbuat seperti Harmoko. Tidak persis betul, memang. Karena penyensoran yang ia lakukan tidak meliputi hal-hal yang terkaitpaut kebijakan pemerintah dan militer (dalam maupun luar negeri), melainkan sekitar wilayah dada, paha, dan selangkangan.
Atas nama moralitas dan upaya membangun kembali ahlak anak bangsa yang kupak-kapik, Tifatul memblokir situs-situs yang dinilai menampilkan konten pornografi atau yang berbau pornografi.
Hal yang awalnya sempat membingungkan (dan meledakkan kegelian), lantaran ternyata sistem pemblokiran ini kurang canggih, tak bisa membedakan mana pornografi yang sebenar-benarnya pornografi, dengan, misalnya, pornografi sebagai bahasan atau telaah. Akibatnya, sejumlah situs berita yang nyata-nyata tidak porno, ikut terblokir dan selama beberapa jam tidak dapat diakses.
Tidak berhenti di internet, penyensoran juga dilakukan di media cetak dan media elektronik, terutama televisi. Maka dimulailah era gambar yang dibikin kabur (blur). Belahan dada yang rendah atau paha yang terpampang lantaran potongan rok yang terlalu tinggi, tanpa ampun akan kena sensor. Adegan ciuman, meski itu hanya sekilas pintas, juga tak luput dari blur.
Kerja Tifatul diteruskan menteri selanjutnya, Rudiantara. Dan ia memperluas cakupan, tidak berhenti pada sekadar dada, paha, dan selangkangan, tapi juga menyasar situs-situs radikal atau yang dianggap menyebarkan radikalisme (dengan tambahan tolak ukur: pembenci pemerintah secara membabibuta, dalam hal ini khususnya presiden Joko Widodo).
Untuk urusan sensor-menyensor tayangan di media elektronik, menteri kita ini pun membuat langkah lebih maju. Kerja lembaga sensor semakin banyak. Bukan cuma menyensor belahan dada dan paha yang mengkilap, tapi juga rokok dan darah.
Bagaimana cara menyensor darah? Di sinilah letak kejeniusan lembaga sensor Indonesia. Bukan dengan mengaburkan, melainkan mengubah tampilan gambar secara keseluruhan, dari colour (warna) menjadi BW (Black and White alias hitam-putih).
Aduhai sekali bukan? Namun itu belum seberapa. Saya pernah terpingkal-pingkal setengah mati saat melihat satu tayangan di mana (maaf) tetek sapi yang sedang diperas seorang petani, juga dikaburkan.
Alamakjang! Sudah sebegitu parahkah kebobrokan moral manusia di Indonesia sehingga nafsu bisa meledak hanya karena melihat tetek sapi, sampai tetek yang tidak berdosa itu harus di-blur sedemikian rupa?
Jangan-jangan, ke depan, lembaga sensor juga akan mengaburkan celana dalam Superman, sebab celana dalam yang ditunjukkan secara vulgar adalah pornografi.
Apakah saya tidak sepakat bahwa pornografi merusak? Tentu saja sepakat. Pornografi mesti dijauhkan dari media massa. Dari televisi, layar bioskop, atau internet. Akan tetapi, alih-alih sibuk menyensor pornografi, rokok, dan darah, lembaga sensor dan Kementerian Komunikasi dan Informatika, abai terhadap perkara yang lebih substansial. Yakni mutu tayangan itu sendiri. Pesan apa yang hendak disampaikannya.
Anak-anak kita, para remaja, memang terhindarkan dari belahan dada dan kemilau paha, asap rokok yang mengepul atau darah yang mengalir, tapi dicekoki oleh pengetahuan baru yang sungguh celaka perihal manusia harimau, manusia serigala, serta kisah cinta yang dungu dan hantu-hantu.
Labels:
Cucupoker
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment